Gus Dur dan Kita: Kedaulatan Rakyat yang Kerap Terlupa
Oleh: Agus
Malam haul ke-16 KH Abdurrahman Wahid di Pendopo Agung Kabupaten Malang bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah cermin—yang memaksa kita bercermin jujur: sejauh mana nilai-nilai Gus Dur masih hidup dalam praktik kehidupan berbangsa hari ini?
Gus Dur tidak pernah memandang kekuasaan sebagai tujuan. Baginya, kekuasaan hanyalah alat—dan rakyatlah pemilik sahnya. Itulah mengapa tema “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat” terasa sangat relevan, bahkan mendesak, di tengah realitas hari ini ketika suara rakyat sering kali dikalahkan oleh kepentingan elite, modal, dan popularitas semu.
Gus Dur mengajarkan sesuatu yang sederhana namun mahal: kemanusiaan lebih tinggi dari identitas. Agama, suku, budaya—semuanya penting, tetapi tidak boleh menjadi alat untuk meniadakan hak orang lain. Dalam dunia yang hari ini mudah marah, mudah curiga, dan gemar menghakimi, Gus Dur justru berdiri sebagai teladan ketenangan dan kelapangan hati.
Kalimat beliau yang terus hidup hingga kini—
“Tidak penting apa pun agamamu atau apa pun sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan bertanya apa agamamu”—
adalah kritik halus namun tajam terhadap praktik keberagamaan yang sibuk membela simbol, tetapi lupa membela manusia.
Haul Gus Dur mempertemukan kita dalam ruang yang jarang kita jumpai: ruang tanpa sekat. Lintas iman, lintas pandangan, lintas latar belakang. Di sanalah Indonesia sesungguhnya bernafas. Bukan Indonesia yang ribut di media sosial, melainkan Indonesia yang duduk bersama, berdoa bersama, dan peduli bersama—termasuk melalui aksi nyata untuk korban bencana.
Gus Dur juga mengajarkan etika sosial yang hari ini terasa langka:
“Tonggo ojo diajak tukaran.”
Sebuah pesan sederhana, namun sarat makna. Bahwa demokrasi tidak dibangun dari pertengkaran, melainkan dari penghormatan. Dari kesediaan mendengar, bukan sekadar ingin menang.
Kita patut bertanya pada diri sendiri:
Apakah demokrasi hari ini masih berakar pada rakyat, atau justru menjauh dari mereka?
Apakah hukum ditegakkan untuk keadilan, atau untuk kekuasaan?
Doa yang dipanjatkan untuk para presiden pendahulu bangsa—Soekarno, Soeharto, Habibie—serta korban bencana, menunjukkan satu hal penting: Gus Dur mengajarkan rekonsiliasi, bukan dendam; ingatan, bukan penghapusan sejarah
Haul ini seharusnya tidak berhenti pada air mata dan pujian. Gus Dur tidak butuh disakralkan. Ia butuh diteladani. Dalam cara kita bersikap pada yang lemah. Dalam keberanian kita melawan ketidakadilan. Dalam kesediaan kita menjaga persaudaraan di tengah perbedaan.
Jika Gus Dur masih relevan hari ini, itu karena Indonesia masih membutuhkan suara moral—yang berani, jujur, dan berpihak pada rakyat.
Dan pertanyaannya kini kembali pada kita:
apakah kita hanya merayakan Gus Dur, atau sungguh-sungguh meneruskan perjuangannya?
jurnalis ags








